Kementerian Pertahanan Indonesia mengeluarkan sebuah wacana yang begitu mengegerkan terutama bagi kalangan terdidik yang masih terikat akademis dengan mengusulkan untuk melakukan pendidikan militer melalui mulut Wakil Menteri Pertahanan, Sakti Wahyu Trenggono berafiliasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lantas, apa yang menjadi polemik dalam penerapannya, serta hal yang membedakannya dengan konsep Bela Negara yang telah ada sebelumnya?
Apa itu Pendidikan Militer?
Isu ini muncul melalui pernyataan Wamenhan saat sehari sebelum perayaan HUT ke-75 RI atas dasar pengembangan rasa cinta tanah air dan pengembangan sumber daya manusia terutama pada kaum milenial. Ia merujuk kepada Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara. Menurutnya salah satu upaya bukti rasa cinta kepada bangsa dan negara adalah melalui bergabungnya kepada Komponen Cadangan. Kemudian diteruskannya dengan mengusulkan dalam satu semester, mahasiswa diikutkan dalam program pendidikan militer yang bersifat Satuan Kredit Semester (SKS).
“Nanti, dalam satu semester mereka bisa ikut pendidikan militer, nilainya dimasukkan ke dalam SKS yang diambil. Ini salah satu yang sedang kita diskusikan dengan Kemendikbud untuk dijalankan. Semua ini agar kita memiliki milenial yang tidak hanya kreatif dan inovatif, tetapi cinta bangsa dan negara dalam kehidupan sehari-harinya,” ujar Trenggono menindaklanjuti pernyataan sebelumnya.
Pendidikan militer sendiri lebih merujuk kepada sebuah pengajaran bagaimana untuk menjadi salah satu pasukan yang ikut turut adil dalam berperang. Dalam kata halusnya, wajib militer bro. Apalagi dengan ancang-ancang yang telah terlihat dengan mengacu pada undang-undang mengenai komponen pertahanan negara, semakin menjelaskan intensi Kemenhan untuk mengikutsertakan mahasiswa dalam wahana perang.
“Agar milenial Indonesia tidak kalah dengan Korea Selatan yang mampu mengguncang dunia melalui budaya K-Pop” Lagi-lagi Wamenhan mengirimkan kode-kode unik agar segera terlaksananya Pendidikan Militer ini lewat bercermin pada Negeri Ginseng. Seperti yang kita ketahui, Korea sampai saat ini masih dalam suasana yang tidak adem-ayem semenjak tahun 1950-an akibat perang Korea. Kemarin saja, Korea Utara baru meledakkan gedung komunikasi antar Korea yang dibuat saat pertemuan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un dan presiden Korea Selatan, Moon Jae In pada tahun 2018 dengan membuat perjanjian perdamaian. Belum sampai tepat 2 tahun, eh, Korea Utara udah nyari ribut lagi.
Sehingga sudah jelas, Korea Selatan menerapkan wajib militer atau pendidikan militer atas urgensi perang yang suatu saat dapat terjadi bukan semata-mata hanya untuk meningkatkan rasa cinta tanah air.
Wajib Militer di Korea Selatan
Karena masih banyak yang salah kaprah terhadap pelaksanaan wajib militer di Korea Selatan, termasuk Wamenhan, mari lihat kilas balik terhadap pencanangan wamil di sana.
Dasar wajib militer di Korea Selatan adalah Undang-Undang Dasar Republik Korea, yang diundangkan pada tanggal 17 Juli 1948. Konstitusi tersebut dinyatakan dalam Pasal 39, “Semua warga negara wajib memiliki kewajiban pertahanan nasional sesuai dengan ketentuan yang ditentukan dalam Undang-undang.“ serta Undang-Undang Dinas Militer tahun 1949, yang diterapkan pada tahun 1957, menetapkan bahwa dinas wajib militer diwajibkan bagi pria berusia 19 tahun atau lebih. Tepat di tahun tersebut situasi antar kedua Korea sedang panas-panasnya hingga meletus perang Korea pada tahun 1950 hingga 1953. Kemudian setelah melalui beberapa negosiasi bilateral dirasa tidak dicapai dan Korea jatuh ke dalam kondisi perang dingin, pada tahun 1957 diwajibkanlah pendidikan militer bagi seluruh pria di Korea Selatan yang telah menginjak usia 18–35 tahun.
Pelaksanaannya juga tidak menyeluruh berupa pelatihan perang. Terdapat 7 kondisi yang menentukan seseorang tersebut diberikan pelatihan perang atau tidak. Bila seseorang tersebut dinyatakan fisik yang sehat dan dikategorikan sanggup dalam latihan perang baru bisa mengikuti, sedangkan di luar kondisi tersebut hanya harus melakukan pelayanan masyarakat, dan orang yang memiliki disabilitas tidak perlu mengikuti pendidikan militer ini.
Bila Indonesia bercermin pada Korea Selatan, tentu seseorang yang mengikuti pendidikan militer dan berakhir di pangkat tertentu berhak mendapatkan kompensasi berupa uang bukan daun singkong. Bahkan Korsel sendiri membeberkan kesulitan dalam penyelenggaraan pendidikan militer secara tahunannya.
Data dari Kementerian Pertahanan Nasional mengungkapkan bahwa mereka gagal menyediakan sepatu kets kepada 7.411 rekrutan yang bergabung dengan militer dari 22 Mei hingga 4 Juni 2012, setelah anggaran tidak mencukupi untuk kebutuhan. Kementerian Pertahanan awalnya memproyeksikan biaya setiap pasang sepatu kets menjadi 11.000 KRW. Namun, biaya sebenarnya ternyata 15.000 KRW.
Kantor anggota Majelis Nasional Kim Kwang-jin dari Partai Persatuan Demokrat juga mengungkapkan bahwa taruna di Akademi Militer Korea diberikan sepatu kets senilai 60.000 KRW dan sepatu tenis. Kadet di Akademi Angkatan Darat Korea di Yeongcheon diberikan sepatu kets seharga 64.250 KRW, selain sepatu lari dan sepatu bola. Belum ditambah dengan dana yang dikeluarkan untuk akomodasi selama latihan, medis, hingga mencari orang-orang yang menghindari wajib militer ini.
Kesiapan Ekonomi Indonesia
Pendidikan Militer yang membuat Korea Selatan sekalipun keteteran terhadap anggarannya, akan semakin meragukan jika Indonesia bisa melaksanakannya tanpa merasa lebih kesulitan dari anggaran kas Kemenhan sendiri. Kenyataannya, militer kita masih lebih sering jajan peralatan tempur ketimbang mengalirkan dana untuk pengembangan di dalam negeri sudah menjadi salah satu bukti anggaran yang keluar tidak sedikit. Mana mungkin negara lain rela menjual peralatan tempur dengan biaya yang normal, mereka pun mau cuan.
Belum lagi, rekrutmen TNI maupun Polri yang masih menerima anggotanya dalam skala besar di seluruh unit di Indonesia tidak memungkinkan biaya anggaran untuk memenuhi kebutuhan mereka juga akan besar setiap tahunnya.
Bahkan TNI sendiri saat ini mengalihkan anggaran yang diberikan Kemenhan untuk penanganan medis serta ekonomi dalam masa pandemi. Menurut Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, anggaran tersebut berasal dari Mabes TNI sebesar Rp 25,7 miliar, TNI Angkatan Darat Rp 39,9 miliar, TNI Angkatan Laut senilai Rp 64,5 miliar dan TNI Angkatan Udara sebesar Rp 69,5 miliar.
Di masa pandemi seperti ini, seluruh bagian dunia manapun akan mengalami kesulitan dalam ketahanan ekonomi nasional mengingat beberapa sektor pendukungnya yang mulai runtuh akibat larangan-larangan tertentu demi mencegah penyebaran virus. Indonesia pun yang sudah tahu bahwa sering belanja sana-sini perlu berhemat, bukan mengeluarkan wacana nyeleneh yang malah semakin menguras ekonomi negara.
Respons Ulang Pasca-Viral
Setelah wacana nyeleneh ini mendapatkan kontra yang banyak dari beberapa kalangan, salah satunya Peneliti HAM dan Keamanan, Ikhsan Yosarie menegaskan, wacana pendidikan militer bertentangan dengan napas ‘Kampus Merdeka’ yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. “Dengan sejumlah persoalan beberapa waktu ke belakang yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap kebebasan akademik kampus, alih-alih menjamin kebebasan mimbar akademik kampus, Kemendikbud malah mengafirmasi militerisasi sektor pendidikan,” kata Ikhsan.
Belum lagi ditambah dengan Komisi X DPR RI, Ratih Megasari Singkarru yang senada dengan tulisan ini mempertanyakan urgensi dari pendidikan militer. Menurutnya bahwa pendidikan militer diperlukan atau tidaknya dalam masa sekarang, bilapun perlu apa tujuan yang melandasi dan ditambahkannya penerapannya tidak harus memakan satu semester mahasiswa melainkan dapat diberikan bertahap dalam jenjang pendidikan.
Menanggapi komentar ketidaksetujuan tersebut, Wamenhan mulai mengganti narasinya menjadi komponen dari bela negara dan bersifat tidak wajib, begitu pula dengan Kemdikbud melalui Nadiem Makarim yang menyatakan pendidikan militer bersifat sukarela dan tidak ada paksaan. Sedikit aneh bila dilihat program bela negara telah diterapkan di beberapa kampus semenjak pencanangannya di tahun 2015, lalu kemudian dicanangkan ulang oleh Kemenhan. Sedikit sulit memang mengubah narasi tanpa melihat apa yang telah terjadi sebelum-sebelumnya.
Bela negara dan pendidikan militer juga merupakan dua hal yang terpisah. Apalagi bela negara tidak melulu selalu dikaitkan dengan keinginan turun dalam perang. Mengabdi pada profesi dan menuntaskan KKN juga upaya bela negara dari dalam. Jika benar-benar ingin menumbuhkan rasa cinta pada bangsa dalam masa-masa saat ini bukankah lebih ditekankan pada bagaimana memaknai pelaksanaan keseharian kita sebagai warga negara dan Kemenhan bisa pula menggandeng Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam rangka bela negara.
Di sisi lain, negeri kita masih banyak yang bergabung dalam organisasi paramiliter yang benar-benar siap dan sukarela mengikutsertakan diri mereka dalam bidang militer.
Lagipula, Sang Wamenhan telah mengubah kata-katanya dari yang asalnya mewajibkan kini bersifat sukarela. Jadi kembali pada pilihan masing-masing pembaca dalam menyikapi hal ini. Mau ikut atau tidak?
Sumber: